Senin, 22 September 2008

PRA (Participatory Rural Appraisal)




Oleh M. Baiquni

Pendekatan, metode dan teknik PRA (Participatory Rural Appraisal) berkembang pada periode 199O an sebagai sebuah metode yang dikembangkan dari metode RRA (Rapid Rural Appraisal) yang banyak digunakan pada dekade 1980an. Metode Partisipatif PRA cepat sekali berkembang di kalangan para praktisi pengembangan masyarakat, aktivis LSM, peneliti dan pengajar universitas serta lembaga dana intemasional.
Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program pengembangan masyarakat dimana-mana, seolah-olah menjadi “lebel baru” yang harus melekat pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek. Dalam perkembangannya seringkali diucapkan dan ditulis berulang-ulang tetapi kurang dipraktekkan, sehingga cenderung kehilangan makna.
Partisipasi sepadan dengan arti peranserta, ikutserta, keterlibatan, atau proses belajar bersama sating memahami, menganalisis, merencanakan dan melakukan tindakan oleh sejumtah anggota masyarakat. Robert Chambers (1996) mengartikan PRA sebagai “suatu pendekatan dan metode untuk mempelajari kondisi dan kehidupan perdesaan dan, dengan dan oleh masyarakat desa”.
Pengembangan masyarakat dan pembangunan desa sesungguhnya dapat dimulai dengan sederhana, yaitu suatu proses yang berangkat dari kemampuan, kemauan dan kebutuhan masyarakat dalam memenuhi penghidupan dan menyelenggarakan kehidupannya. Selama ini pembangunan cenderung merupakan keinginan elit nasional (birokrat dan wakil rakyat) yang sesungguhnya mempunyai niatan baik, tetapi pendekatan dan model serta penerapannya kurang tepat. Pendekatan otoriter dan top-down serta “terlalu” akademis dalam proses pembangunan, mendominasi banyak kebijakan dan program pembangunan.
Pendekatan dan metode partisipatif muncul sebagal alternatif terhadap pendekatan yang dominan tersebut. PRA merupakan salahsatu alternatif pendekatan partisipatif yang merupakan respon terhadap dominasi pendekatan pembangunan model top-down.
Di dalam PRA sendiri, kita akan mengenal beberapa prinsip untuk pengembangan masyarakat. Diantaranya adalah belajar dari pengalaman masyarakat, berbuat bersama, menyeimbangkan atau mengurangi bias, membuka kesadaran baru, penemuan dan membangun rasa percaya diri, solidaritas membangun kemitraan serta memperkaya pengetahuan dan budaya local. Beberapa hal tersebut memang penting jika berbicara pengembangan masyarakat.
Dalam pelaksanannya PRA perlu untuk dimulai dengan kegiatan sederhana dan kongkrit berjangka pendek yang dapat dirasakan atau memecahkan masalah. Pengalaman dari kegiatan tersebut dapat dikembangkan dan disempurnakan dalam berbagai kegiatan lain yang lebih komplek, menuju mobilisasi kegiatan secara terpadu dan sistematis berjangkà panjang. Metode PRA berawal dari gagasan atau rencana yang dikembangkan menjadi aksi dan disempumakan melalui refleksi.
PRA memang perlu dimulai dari kemampuan masyarakat, dimana Ia berada dan apa yang telah dimiki serta kebutuhan apa yang ingin dipenuhi. Masyarakat sesungguhnya memiliki potensi dan kemampuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, meski kadang memang memerlukan sentuhan dan orang lain. Asumsi ini menunjukkan bahwa pendekatan partisipatif berangkat dari “apa yang ada, bukan yang diada-adakan”. Selama ini banyak program pembangunan yang dirancang oleh para pakar, sambil berkelakar, di belakang meja gambar (rencana teknis) dan dibahas di meja bundar (penentuan kebijakan) tanpa banyak melibatkan masyarakat sekitar.
Lain halnya dengan metode PRA yang berorientasi proses, melibatkan sebanyak mungkin anggota masyarakat, melalui berbagai upaya belajar, melibatkan berbagai kalangan masyarakat (tua, muda, pria, wanita, miskin, kaya). Meskipun langkah-langkah dan teknik-teknik yang digunakan mungkin terlihat rumit, namun bila telah dipraktekkan akan terasa biasa. Sebab PRA merupakan sebuah siklus pembelajaran, pencerahan dan perubahan.
Sebaiknya persiapan kegiatan PRA dilakukan dengan memperhatikan sejumlah faktor internal (seperti kemampuan tim, kelembagaan pendukung, tenaga yang tersedia) dan ekstemal (seperti kondisi politik, musim, keadaan sosial dan ekonomi). Guna membahasn faktor-faktor tersebut, diperlukan
pembicaraan-pembicaraan dan perencanaan kegiatan serta berbagai kemungkinan yang akan datang.
Selanjutnya penetapan lokasi PRA sebaiknya merupakan usulan dari pihak yang berkepentingan, misalnya masyarakat setempat, LSM, pemerintah tokal. Penetapan lokasi ini juga dapat dilakukan oleh tim PRA setelah melihat permasalahan di suatu desa dan diperkirakan masyarakat memerlukan pemecahan dari pihak luar. Jadi inisiatif dapat berangkat dari kedua belah pihak, yang penting terjadi kesepakatan dari masyarakat dan pihak luas atau pendamping akan pentingnya penggunaan PRA ini.
Komposisi tim PRA sebaiknya rnerupakan kombinasi dari berbagai stakeholder atau pelaku pembangunan seperti tokoh masyarakat, petani muda, LSM, pendidik, maupun aparat pemerintah desa. Mereka dapat diusulkan oleh masyarakat atau dapat pula dipilih oleh tim atas dasar keahlian dan pengalamannya. Latar belakang keahlian sebaiknya bervariasi dengan keragaman usia dan status social. Demikian pula komposisi gender juga penting adanya peran pria dan wanita secara proporsional.
Jumlah anggota tim PRA suatu desa sebaiknya tidak terlalu besar atau terlalu kecil, berkisar antara 8 sampai 14 orang. Tim PRA ini yang akan melakukan dialog dan praktek bersama masyarakat desa lainnya. Selain itu bisa secara bergantian memfasilitasi proses kegiatan PRA, tergantung tema dan teknik yang digunakan. Misalnya bicara masalah teknis keuangan, diserahkan pada ahlinya untuk menjelaskan pada masyarakat bagaimana mengelola keuangan usaha yang bailk.
Penjajagan sebaiknya dilakukan antara para peneliti atau aktivis dari luar kepada masyarakat setempat. Kedatangan tim dari luar ini hendaknya tidak langsung membawa proyek ini dan itu (blue print planning), tetapi merupakan penjajagan atau silaturrahmi saling berkenalan. Romo Mangun mengistilahkan datang sebagai sahabat, bukan berlagak sebagal pejabat.
Buku “Berbuat Bersama, Berperan Setara” yang dibuat oleh konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara, diterbitkan oleh Driya Media (1994) menyebutkan ada sejumlah langkah dan kegiatan dalam suatu siklus PRA. Beberapa hal tersebut adalah, pengenalan awal masalah atau kebutuhan dengan melihat potensi serta menumbuhkan penyadaran. Pada tahap awal mi yang biasa digali adalah informasi-informasi yang mengungkapkan keberadaan masyarakat dan Iingkungannya secara umum. Mengidentifikasi gejala dan kecenderungan yang terjadi selama beberapa waktu terakhir atau menemukenali masalah yang ada.
Selanjutnya perumusan masalah dan penetapan prioritas. Anggota tim PRA bersama masyarakat bekerjasama merumuskan masalah dan menentukan prioritas masalah yang urgen dan mendesak untuk ditangani Iebih dahulu. Pertemuan dapat ditakukan dalam berbagai kelompok di tingkat perdusunan (berdasarkan witayah atau kelompok permukiman) atau kelompok fungsional (seperti kelompok tani, koperasi, kelompok pemuda) Bila permasalahan harus ditangani secara terpadu pada forum yang lebih luas, maka dapat dilakukan musyawarah pada tingkat desa atau antar desa.
Setelah itu identifikasi alternatif pemecahan dan pengembangan gagasan mulai dilakukan. Prioritas masalah mulai dicarikan jalan keluar dengan memahami kemampuan masyarakat, potensi daya dukung desa, serta kondisi/peluang yang ada. Berbagai pertemuan dan penggunaan teknik-teknik anatisis sederhana yang dapat dikerjakan sendiri oleh masyarakat dapat digunakan.
Berikutnya pemilihan alternatif pemecahan masalah yang paling tepat harus dilakukan. Pemilihan alternatif ini didasarkan hasil kajian kemampuan masyarakat untuk melakukan gotong royong dan menggalang swadaya serta kemampuan bermitra dengan berbagai pihak di luar desa untuk sinergi kekuatan.
Pada tahap ini perencanaan guna menerapkan gagasan pemecahan masalah yang terpilih mulai dilakukan. Rencana ini merupakan upaya untuk mengorganisasikan seluruh sumberdaya yang telah diidentifikasi dalam suatu urutan kegiatan yang konkrit.
Tahapan penting berikutnya adalah pelaksanaan atau pengorganisasian, pemantauan dan pengarahan kegiatan yang akan dipantau secara kontinyu. Dan berikutnya refleksi berupa evaluasi dan rencana tindak lanjut akan mengakhiri siklus PRA. Disini akan dievaluasi sejauh mana proses ini sudah sesuai dengan harapan yang ingin dicapai. Melalui refleksi ini masyarakat dan tim PRA dapat belajar banyak dari pengalaman pertama, “selanjutnya terserah anda. ..“.
Yang menarik PRA dalam pelaksanaannya menggunakan sejumlah teknik yang pada dasarnya sederhana, fleksibel, mudah difahami oleh masyarakat sendiri. Teknik-teknik PRA tidak bersifat baku dan standard yang harus diikuti secara ketat, tetapi justru terbuka untuk melakukan modifikasi dan penyesuaian sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat penggunanya. Betul apa kata Chambers bahwa mengingat kondisi masyarakat dan Iingkungan perdesaan itu sangat beragam, maka beragam pula teknik-teknik yang dapat dikembangkan, “Let a thousand flowers blooms (why only a thousand?, we can do more)”.
Kondisi ini sangat berbeda bila kita menyaksikan ribuan dokumen hasil penelitian menumpuk di gudang-gudang universitas, lembaga penelitian, departemen bahkan kantor yang mengurusi hasil penelitian. Hasil penelitian yang membutuhkan banyak biaya, melibatkan banyak tenaga dan menyita waktu ini ternyata banyak tidak ditindak lanjuti. Sementara itu berbagai lembaga dan aktivis yang bergerak di lapangan lebih tertarik tindakan nyata memecahkan masalah atau membuat solusi, jarang melakukan kajian teoritis yang mendalam.
Sementara itu kenyataan yang ada dengan menjamurnya berbagai pelatihan dan program kegiatan menggunakan label PRA dapat mengkhawatirkan sekaligus peluang. Mengkhawatirkan bila PRA digunakan untuk berbagai kegiatan yang sesungguhnya tidak partisipatif, dengan kata lain label PRA tidak sesuai dengan isinya. Kegiatan dengan proses dan hasil yang buruk tersebut akan menyudutkan reputasi metode PRA.
Ditengah badai krisis ini, banyak program Jaring Pengaman Sosial (JPS) baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat bisnis maupun LSM diselenggarakan dengan menggunakan label partisipatif. Pelaksanaannya cenderung banyak bersifat masal ingin menjangkau jumlah yang banyak secara cepat, petunjuk pelaksanaan kaku, koordinasi antar pelaku dan instansi yang masih belum jelas serta masih di dominasi oleh mekanisme instruksi. Banyaknya kegiatan yang menggunakan PRA merupakan peluang tersendiri. Tetapi bila dilaksanakan secara tergesa-gesa dan sangat prosedural, seringkali substansinya tidak nampak terwujud.
Kekhawatiran munculnya berbagai permintaan pelatihan PRA di mana-mana, membuat kewalahan para fasilitator PRA. Banyak pula yang mengaku fasilitator PRA, tetapi tidak pernah punya pengalaman lapangan yang tangguh. Para fasilitator semacam mi biasanya hanya membaca dari beberapa buku dan membuat makalah atau petunjuk latihan berdasarkan texbook thinking, tanpa pernah melakukan sendiri di lapangan dan melakukan refleksi untuk pengayaan pengalaman.
Sementara itu seringkali pula materi pelatihan PRA hanya merupakan sub bagian kecil dan sebuah pelatihan besar. Para peserta tidak punya waktu untuk menyerap substansi materi dan melakukan simulasi serta latihan di lapangan, akibatnya hanya mengenal permukaan saja.
Padahal sesungguhnya banyak hal yang bisa diraih melalui kegiatan ini. Diantaranya yang penting adalah adanya perubahan political will and policy reform menuju proses yang lebih demokrasi, desentralisasi, aspiratif dan adanya proses pengembalian kedaulatan rakyat. PRA merupakan pendekatan dan metode yang bersebrangan dengan sentralisasi, standarisasi atau penyeragaman dan model top-down.
Melalui PRA ini bias digunakan untuk memperkuat dan memberdayakan kemampuan masyarakat pedesaan.dan kelompok miskin. Utamanya untuk mengembangkan persepsi dan aspirasinya menggunakan aspirasi sendiri. Peningkatan kemampuan itu penting untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi dengan sumber daya yang ada menuju perbaikan hidup secara wajar. Let a thousand flowers blooms, merupakan gambaran bahwa PRA fleksibel dengan berbagai inovasi dan modifikasi sesuai dengan kondisi, kemampuan dan pengalaman masing-masing.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

terima kasih artikelnya,,,saya jadi terbantu, saya mahasiswa sosiologi yang kenetulan mengambil skripsi tentang partisipasi,,,kira-kira buku referensinya apa saja ya??
suwun

AMISHA mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut