Senin, 22 September 2008

Konsep dan implementasi dalam mendorong terpenuhinya hak rakyat atas pangan

oleh Arif Haryana (*)
(*) Dr. Ir. Arif Haryana, M.Sc adalah Kepala Sub Direktorat Pangan pada Direktorat Pangan dan Pertanian, Kementerian Negara PPN/Bappenas-red.

Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Pemahaman mengenai "kemiskinan" mestilah beranjak dari pendekatan berbasis hak (right based approach). Dalam pemahaman ini harus diakui bahwa seluruh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama. Kemiskinan juga harus dipandang sebagai masalah multidimensional, tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan dalam memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Pendekatan right based approach mengandung arti bahwa negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap.
Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya.
Situasi Kemiskinan di Indonesia dan Permasalahannya
Kemiskinan, yang antara lain ditandai oleh banyaknya penduduk yang hidup di– atau sangat rentan jatuh ke– bawah garis kemiskinan, masih merupakan permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Perkiraan BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2003 terdapat sekitar 34,7 juta jiwa atau sekitar 17,4% dari jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (tingkat pengeluaran yang diperlukan untuk dapat mengkonsumsi makanan setara 2100 Kkal sehari dan pengeluaran minimal untuk kebutuhan dasar lainnya). Bila acuan kemiskinan yang digunakan adalah tingkat pengeluaran kurang dari US$ 2 PPP per orang per hari, maka jumlahnya menjadi jauh lebih besar. Berdasarkan standar acuan tersebut, Bank Dunia memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah sekitar 53,4% atau 114,8 juta jiwa.
Masalah kemiskinan juga ditandai oleh rendahnya Human Development Index (HDI), yang menggambarkan mutu kehidupan masyarakat. Dibandingkan dengan beberapa negara
tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina, nilai HDI Indonesia pada tahun 2002 masih lebih rendah. Posisi HDI Indonesia saat ini hampir setara dengan Vietnam yang sepuluh tahun yang lalu jauh tertinggal di bawah Indonesia. Meskipun kita sedikit lebih baik daripada Vietnam pada indikator pendapatan, akses terhadap air bersih dan kecukupan gizi balita, namun kita masih berada di bawah Vietnam pada indicator pendidikan dan kesehatan.
Hal lain penanda kemiskinan adalah adanya ketimpangan antarwilayah. Secara jumlah, kemiskinan terbesar berada di Jawa dan Bali karena jumlah penduduknya yang mencapai 60% penduduk Indonesia. Namun, persentase kemiskinan di luar Jawa, khususnya kawasan timur Indonesia jauh lebih tinggi. Pada tahun 2003, kemiskinan di DKI Jakarta hanya sekitar 3,4%, sedangkan di Papua mencapai sekitar 39%. Kemiskinan di Indonesia juga sebagian besar dihadapi oleh penduduk di daerah perdesaan, yang pada umumnya bekerja di sector pertanian. Pada tahun 2003 jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai 67%.
Situasi kemiskinan yang tertangkap dalam angka-angka di atas hanyalah ukuran kemiskinan yang didasarkan atas permasalahan pendapatan atau ekonomi belaka. Lebih lanjut daripada itu, permasalahan kemiskinan perlu dilihat dari aspek kegagalan dalam pemenuhan hak dasar, serta ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Beberapa permasalahan yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pemenuhan hak-hak dasar antara lain: (1) Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) Terbatasnya akses layanan perumahan; (6) Terbatasnya akses terhadap air bersih dan sanitasi; (7) Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (8) Memburuknya kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup; (9) Lemahnya jaminan rasa aman; (10) Lemahnya partisipasi.

Pengakuan Hak atas Pangan
Berdasarkan General Comment 12 dari the Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) hak atas pangan (the right to food) telah diakui secara internasional sebagai salah satu hak dasar umat manusia. Adalah merupakan kewajiban negara untuk dapat menyediakan pangan yang memadai, baik jumlah maupun kualitasnya, bagi seluruh penduduknya sehingga bisa memenuhi standar hidup yang layak.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan FAO atas semua konstitusi negara-negara di dunia, diketahui bahwa semua negara mengakui adanya hak atas pangan (the right to food) sebagai bagian dari hak dasar umat manusia. Meski demikian jenis pengakuan dalam konstitusi masing-masing negara beragam yang meliputi :
1. pernyataan eksplisit tentang hak atas pangan bagi semua orang
2. pernyataam eksplisit tentang hak atas pangan bagi kelompok khusus (anak-anak, orang lanjut usia, para pensiunan, dan tahanan penjara)
3. pernyataan implisit tentang hak atas pangan melalui pernyataan eksplisit atas hak yang lebih luas lagi seperti hak atas standar hidup yang memadai
4. pengakuan atas hak jaminan sosial bagi mereka yang tidak bekerja, yang merupakan pengakuan implisit hak atas pangan
5. pengakuan hak-hak anak-anak, yang juga meliputi hak-hak atas nutrisinya.
2
6. pengakuan atas hak upah minimum bagi buruh yang cukup untuk memperoleh kebutuhan dasar bagi buruh dan keluarganya, termasuk hak pangannya.
7. pengakuan pentingnya pertanian, jaminan pangan atau jaminan konsumen melalui pernyataan eksplisit atas hak-hak (warga negara) atau sebagai kewajiban Negara


Bagi Indonesia, pengakuan hak atas pangan juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, yang menyatakan "bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang kerkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional".
Kerawanan Pangan dan Kemiskinan
Terbatasnya kecukupan dan kelayakan mutu pangan berkaitan erat dengan masalah ketersediaan pangan (the availability of food), daya beli dan akses kepada pangan, dan ketergantungan yang tinggi pada salah satu jenis pangan, seperti beras misalnya. Di samping itu, perilaku dan budaya yang membedakan perlakuan dalam pengaturan dan pembagian makan antarangota keluarga juga berpengaruh terhadap pemenuhan kecukupan pangan.
Tidak tersedianya pangan dalam jumlah dan mutu yang memadai dapat diartikan sebagai telah terjadinya kemiskinan karena ada hak-hak dasar seseorang atau sekelompok orang yang tidak dapat terpenuhi. Oleh karena itu dikaitkan dengan upaya pengentasan kemiskinan maka ketersediaan pangan yang kemudian dikenal sebagai ketahanan pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya strategis dalam penanggulangan masalah kemiskinan. The World Food Summit (WFS) menyatakan ketahanan pangan dapat terwujud saat semua orang setiap saat memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhannya dan juga pemenuhan pangan bagi kehidupan yang sehat. Empat pilar utama dari ketahanan pangan ini adalah ketersediaan pangan, stabilitas suplai pangan, akses, dan pemanfaatan pangan
Pemerintah berkewajiban dalam memenuhi pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia. Untuk itulah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang kemudian disusul dengan keluarnya Inpres No. 2 Tahun 2005 tentang Kebijakan Perberasan.
Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi persyaratan gizi masih menjadi masalah bagi masyarakat miskin. Permasalahan kecukupan antara lain terlihat dari rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Pada tahun 2002, diperkirakan 20% penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 Kkal per hari atau 75% dari kebutuhan untuk hidup layak. Pada saat yang sama ketersediaan pangan nasional cukup memadai. Bila kerawanan pangan diukur dengan kriteria kebutuhan konsumsi minimum sebesar 2.100 Kkal per hari, maka hal tersebut dialami oleh 60% penduduk berpenghasilan rendah. Kondisi ini menunjukkan adanya masalah dalam akses/keterjangkauan bahan pangan.

Secara umum kerawanan pangan diartikan sebagai kondisi suatu daerah, masyarakat, atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan. Kondisi kerawanan pangan dapat bersifat : (1) kronis, ditampakkan adanya gejala kurang makan secara terus menerus, karena ketidakmampuan memperoleh pangan yang cukup, baik dengan cara membeli maupun dengan cara menghasilkan sendiri, akibat keterbatasan penguasaan sumber daya alam dan kemampuan sumber daya manusia sehingga pemanfaatan kemampuan dan kekuatan fisik kurang maksimal; menjadikannya rentan terhadap gangguan penyakit, dan pada gilirannya menyebabkan kondisi masyarakat semakin miskin; serta (2) kerawanan transien, yang merupakan penurunan kemampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, akibat kondisi tidak terduga seperti ketidakstabilan harga, ketidakstabilan produksi, dan ketidakstabilan pasokan pangan sebagai akibat bencana alam, kerusuhan, penyimpangan musim, konflik sosial dan lain-lain.
Dampak buruk kerawanan pangan terlihat pada penurunan status gizi masyarakat dan status kesehatan masyarakat yang akhirnya menimbulkan bencana kelaparan. Dampak buruk terganggunya ketersediaan pangan dan berkurangnya daya beli masyarakat menimbulkan kemiskinan struktural sehingga dengan usaha apapun pendapatannya tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya.
Di samping karena masalah ketersediaan dan akses terhadap pangan, masalah kecukupan pangan dipengaruhi pula oleh pola konsumsi yang bertumpu ada beras sebagai bahan pangan pokok. Pola konsumsi seperti itu menyebabkan ketergantungan masyarakat pada beras dan, pada masyarakat tertentu menyebabkan adanya peralihan konsumsi pangan dari bukan beras menjadi beras. Dalam jangka panjang, hal ini akan mengganggu ketahanan pangan masyarakat. Selain itu, ketergantungan pada beras juga melemahkan inisiatif untuk melakukan diversifikasi produksi dan konsumsi pangan selain beras seperti jagung, sagu, ubi jalar, dan bahan pangan lainnya yang dapat diproduksi secara lokal.
Perbedaan perlakuan dalam pengaturan dan pembagian makan antar anggota keluarga juga berpengaruh terhadap pemenuhan kecukupan pangan. Pembagian makanan masih dipengaruhi oleh perilaku dan budaya masyarakat di beberapa daerah yang mengutamakan bapak dan anak laki-laki lalu anak perempuan, dan terakhir ibu. Pola pembagian makan seperti itu juga berdampak pada buruknya kondisi gizi ibu hamil,dan dapat mengakibatkan kematian ibu pada waktu melahirkan dan setelah melahirkan.
Masalah kecukupan pangan juga dialami oleh petani penghasil pangan termasuk petani padi. Penyebab utamanya adalah fluktuasi harga yang terjadi pada saat musim panen dan musim paceklik yang tidak menguntungkan mereka. Impor beras yang dilakukan untuk menutup kebutuhan beras dan menjaga stabilitas harga seringkali tidak tepat waktu sehingga merugikan petani penghasil beras. Berdasarkan observasi Badan Bimas Ketahanan Pangan pada bulan Agustus 2003 di 486 lokasi yang tersebar di 15 provinsi, harga gabah terendah ditingkat petani mencapai Rp. 900/kg lebih rendah dari harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu terdapat 54,9% kasus harga di tingkat petani dan 38,9% kasus harga di tingkat penggilingan yang lebih rendah dari harga dasar pembelian yang ditetapkan. Selain itu, penyelundupan beras juga menyebabkan kerugian bagi penghasil. Dengan kepemilikan lahan yang sempit (kurang dari 1 ha), dukungan prasarana dan sarana yang terbatas, dan harga jual yang tidak pasti, mereka tidak memperoleh surplus yang memadai untuk mencukupi

kebutuhan menjelang musim panen berikutnya. Mereka cenderung hidup secara subsisten yang menghambat mereka untuk keluar dari perangkap kemiskinan.
Masalah lain yang juga mempengaruhi ketahanan masyarakat dalam menghadapi masalah kerawanan pangan adalah kemampuan menyediakan cadangan pangan untuk mengatasi musim paceklik. Saat ini, sebagian besar lumbung pangan milik masyarakat tidak berfungsi karena tidak dikelola dengan baik dan lemahnya dukungan dari pemerintah.
Pemenuhan Hak Dasar Atas Pangan sebagai bagian dari penanggulangan kemiskinan
Rencana aksi penanggulangan kemiskinan bertujuan untuk menurunkan jumlah penduduk miskin laki-laki dan perempuan dan menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap agar dapat menjalani kehidupan yang bermartabat. Rencana aksi tersebut dilaksanakan secara terpadu, sinergis, dan terencana, yang meliputi meliputi: (1) pengelolaan ekonomi makro untuk menjamin stabilitas, pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan pengurangan kesenjangan; serta (2) rencana aksi pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, termasuk hak atas pangan.
Sebagai salah satu bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan, sasaran dari Rencana aksi pemenuhan hak atas pangan adalah terpenuhinya kecukupan pangan yang bermutu, serta meningkatnya status gizi masyarakat miskin terutama ibu, bayi, dan anak balita. Target yang hendak dicapai adalah menurunnya persentase jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, serta menurunnya angka gizi kurang pada anak balita menjadi 20% pada tahun 2009.
Dalam pendekatan right based approach terkandung adanya kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap. Oleh karena itu kebijakan yang diambil dalam rencana aksi pun diarahkan agar negara dapat melaksanakan kewajiban dalam melindungi dan memenuhi hak-hak dasar rakyat. Dalam hal bidang pangan, kebijakan yang diambil adalah:
1. Meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat dalam mendukung ketahanan pangan local;
2. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang diversifikasi konsumsi pangan dan pangan gender keluarga;
3. Meningkatkan efisiensi produksi pangan petani dan hasil industri pengolahan dengan memperhatikan mutu produksi;
4. Menyempurnakan sistem penyediaan, distribusi dan harga pangan;
5. Meningkatkan pendapatan petani pangan dan sekaligus melindungi produk pangan dalam negeri dari pangan impor;
6. Meningkatkan sistem kewaspadaan dini dalam gizi dan rawan pangan;
7. Menjamin kecukupan pangan masyarakat miskin dan kelompok rentan akibat goncangan ekonomi, sosial dan bencana alam.
Kebijakan pada butir 1 hingga 6 merupakan kebijakan untuk mencegah terjadinya masalah-masalah pangan, sehingga kebijakan-kebijakan tersebut dapat diartikan sebagai penjabaran kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan (melindungi). Sedangkan kebijakan pada butir 7 lebih merupakan langkah Negara melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak dasar rakyat miskin atas pangan.

Pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan Ketahanan Pangan
Fokus pemantapan ketahanan pangan berada pada tingkat rumah tangga. Untuk itu, kegiatan prioritas dalam pembangunan ketahanan pangan diarahkan pada pemberdayaan masyarakat agar mampu menolong dirinya sendiri dalam mewujudkan ketahanan pangan. Dengan demikian ruang lingkup kegiatan dalam konteks pemberdayaan masyarakat untuk mewujudkan ketahanan pangan masyarakat meliputi upaya :
1. meningkatkan kemampuan dalam kegiatan on-farm, off-farm dan non-farm
2. meningkatkan kemampuan dalam mengelola ketersediaan pangan, distribusi pangan, konsumsi pangan, dan kerawanan pangan; serta
3. meningkatkan kemampuan kelembagaan pangan untuk mengembangkan usahanya.
Pemberdayaan masyarakat tersebut diupayakan melalui peningkatan kapasitas SDM agar dapat bersaing memasuki pasar tenaga kerja dan kesempatan berusaha yang dapat menciptakan dan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Kesempatan berusaha tersebut tidak harus selalu pada usahatani padi (karena luas lahan sempit tidak mungkin dapat meningkatkan kesejahteraannya), tetapi juga pada usaha tani non padi (on- farm), off-farm, dan bahkan non-farm
Dengan adanya peningkatan, maka daya beli rumah tangga mengakses bahan pangan akan meningkat. Kemampuan membeli tersebut akan memberikan keleluasaan bagi mereka untuk memilih (freedom to choose) pangan yang beragam sesuai seleranya, termasuk untuk pemenuhan kecukupan gizi yang lebih baik. Dalam kondisi demikian, ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dapat dicapai apabila terbangun kemampuan (daya beli) rumah tangga tersebut untuk memperoleh pangan (dari produksi sendiri maupun dari pasar) yang cukup, bergizi, aman, halal, yang dapat mendukung hidup sehat dan produktif. Dengan demikian ketahanan pangan yang dibangun bukan diarahkan agar rumah tangga tersebut menghasilkan sendiri seluruh kebutuhan pangannya, tetapi diwujudkan melalui kemampuan memperoleh peningkatan pendapatan (daya beli) secara berkelanjutan. Karena itu pula, perdagangan pangan (baik dalam negeri/antar daerah ataupun perdagangan internasional) seyogyanya didorong agar mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.
Penutup
Sebagai penutup, berikut ini disampaikan rangkuman mengenai isu pangan dan kemiskinan sebagai berikut:
1. Pemenuhan kebutuhan pangan sebagai hak dasar manusia telah diakui secara global dan nasional dewasa ini. Konstitusi kita menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Amanat konstitusi ini kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dan PP No. 28 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.
2. Ketahanan pangan tidak semata dilihat sebagai bagian dari pengentasan kemiskinan, namun juga sebagai upaya untuk membangun ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional, sehingga upaya untuk mewujudkannya harus melibatkan pemerintah dan segenap rakyat Indonesia yang didukung perangkat hukum yang memadai yang menjamin ketersediaan dan akses rakyat terhadap pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
3. Masalah kemiskinan dilihat dari perspektif pangan merupakan masalah rawan pangan (food insecurity) akibat rendahnya daya beli, ketersediaan pangan yang tidak merata, ketergantungan tinggi terhadap beras dan terbatasnya diversifikasi pangan.
4. Upaya mengentaskan kemiskinan-termasuk di dalamnya upaya mewujudkan katahanan pangan pada masyarakat miskin-dilakukan dengan pemberdayaan (empowerment) masyarakat petani agar mereka mengenali potensi dirinya sehingga mampu secara mandiri menemukenali dan mengatasi masalah yang dihadapinya.
Demikianlah paparan kami, semoga paparan ini dapat menjadi pemicu diskusi bagi kita semua, sehingga pemahaman kita atas isu tentang kemiskinan dan upaya penanggulangannya, termasuk pula isu Hak atas Pangan menjadi semakin baik. Di samping itu, kita semua berharap kiranya akan semakin banyak pihak yang memahami isu-isu ini sehingga akan memperkokoh upaya kita untuk mendorong terpenuhinya hak atas pangan bagi seluruh lapisan masyarakat􀂃

Tidak ada komentar: