Senin, 19 Juli 2010

Pemasaran Bersama, Sebuah Upaya Pemberdayaan yang Nyaris Sia-Sia

Di kalangan para pekerja sosial pedesaan yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat, istilah pemasaran bersama mungkin sudah tidak asing lagi, banyak proyek pemberdayaan pedesaan yang menggunakan konsep tersebut untuk meningkatkan daya saing petani "gurem".
Menghimpun petani dalam sebuah kelompok tani, gabungan kelompok tani, asosiasi atau koperasi demi memperkuat posisi tawar mereka terhadap para pedagang, ibarat sapu lidi yang tidak akan terpatahkan jika diikat dalam jumlah yang lebih banyak. Namun apakah dengan pemasaran bersama petani akan lebih beruntung dan memiliki posisi tawar yang kuat terhadap para pedagang? banyak yang akan menjawab "YA!" ada juga yang menjawab "Belum tentu!" bahkan ada yang sangat pesimis dengan mengatakan "Tidak!" masing-masing tentu memiliki argumentasi mereka sendiri, namun dari yang dialami penulis keberhasilan sebuah aktifitas pemasaran bersama akan sangat tergantung dari desain pendekatan yang akan dijalankan, karena pada umumnya desain pemasaran bersama tidaklah tumbuh dari pemikiran petani itu sendiri , namun tumbuh dari benak para penggiat pekerja sosial /LSM yang notabene sangat minim jam terbang untuk terjun di dunia pertanian dan mengenal karakteristik petani di suatu wilayah.
Berbekal data asessment yang tidak mendalam, pemahaman yang lemah terhadap sistem pertanian serta rantai tata niaga nya seringkali membuat desain pemasaran bersama yang dilaksanakan ibarat "jauh panggang dari api". Seringkali setelah proyek selesai, petani kembali pada kondisi ketidak berdayaan mereka. Bahkan lembaga yang dibentuk untuk menjalankan aktivitas pemasaran bersama seringkali bubar begitu saja dan tidak meninggalkan bekas.
Banyak hal menurut penulis yang menyebabkan hal tersebut terjadi antara lain :
  1. Konsep pemasaran bersama yang di gadang selama ini kurang melibatkan masyarakat dengan alasan keterbatasan sumberdaya manusia yang dimiliki untuk membangun sebuah konsep pemasaran bersama, sehingga berdampak pada lemahnya pemahaman masyarakat terhadap aktifitas yang dilakukan.
  2. Lemahnya pemahaman para staf LSM mengenai konsep pemasaran bersama, sehingga aktivitas dan sasaran seringkali menjadi dangkal hanya sebatas menghubungkan suplay demand tanpa memperkuat sistem pendukungnya.
  3. Lemahnya analisa rantai nilai pada komoditi yang dihasilkan oleh petani, sehingga banyak pihak yang seharusnya dapat berperan untuk memperkuat sektor sasaran luput dari pengamatan
  4. Pembentukan pokja yang melibatkan banyak stakeholders seperti yang dilakukan oleh banyak lembaga tidak menjadi solusi, karena insentif yang di dapat oleh masing masing lembaga yang tergabung dalam pokja sangat minim, bahkan keberadaan mereka dalam pokja sering kali dipaksakan.
  5. Kurangnya pendekatan B to B pada pelaksanaan pemasaran bersama, karena pemasaran bersama seringkalai diartikan sebagai gerakan sosial dibandingkan dengan sebuah gerakan usaha/bisnis.


Bersambung..