Rabu, 24 September 2008

Pendekatan individu dalam melaksanakan kegiatan pemasaran

Studi kasus pelaksanaan program market accsess di wilayah Rasau oleh YSDK

Latar belakang pengembangan model pemasaran melalui pendekatan individu berdasarkan hasil study pendahuluan di wilayah Rasau. Struktur etnis Madura yang terkenal ulet dan bekerja keras lebih bersifat individual. mereka lebih fokus memperjuangkan ekonominya sendiri dan mereka jarang mau bekerja secara berkelompok.
Pengalaman pendekatan kelompok tidak selalu berhasil dengan baik, karena itu tidak selamanya pendampingan harus dilakukan melalui kelompok. Pengembangan market access merupakan pendekatan bisnis, oleh karena itu hitungan bisnis menjadi landasannya. Di desa sudah ada aktor-aktor bisnis yang awalnya juga merupakan petani-petani. mereka ini pada umumnya lebih maju karena mampu mengembangkan usaha dengan pendekatan bisnis.
Petani tidak mungkin melakukan berbagai hal yang berhubungan dengan bisnis, sehingga peran mereka ebih banyak pada aspek produksi. Peran bisnis akan lebih optimal jika dijalankan oleh pedagang-pedangan lokal.
Selama ini pedagang lokal sudah memberi pelayanan kepada petani baik dalam hal pemasaran maupun suport in put bahkan perkreditan. Semakin besar modal pedagang lokal maka semakin besar kemungkinan pelayanan yang diberikan kepada petani. pedagang lokal pada hakekatnya adalah pemicu pertumbuhan ekonomi di sekitarnya. Yang perlu dibangun adalah bagaimana pedagang lokal dapat juga memperhatikan kesejahteraan petani disekitarnya.

Pengembangan konsep pendekatan pedagang lokal, merupakan pendekatan yang YSDK anggap praktis dalam mengembangkan program market access. Konsep ini kemudian disosialisasikan kepada berbagai pihak supaya ada sepemahaman bersama. Konsep pendekatan pedagang lokal sebelumnya cukup bertentangan dengan program-program pemerintah sebelumnya yang lebih menggunakan pendekatan usaha bersama.

Pendekatan pedagang local dapat dilaksanakan di wilayah mekar sari, karena di lokasi tersebut sudah ada pedagang yang consent mengembangkan kegiatan pertanian. Usaha pertanian yang cukup berkembang karena adanya ketersediaan lahan. Dengan memanfaatkan program maka dilakukan upaya perbikan mutu. Sehingga pihak pemerintah juga kemudian mendukung dengan pengadaan beberapa tehnologi tepat guna guna melengkapi fasilitas yang sudah ada.Dengan tekhnologi yang lebih baik, dan ketersediaan gudang untuk penyimpanan kemudian mempengaruhi mutu lebih baik, dapat disimpan lebih lama dan bia mengatur supply. Adanya pengendalian ini membawa manfaat bagi petani karena mereka akan lebih aman, harga tidak akan turun dari harga minimal ditingkat petani.
Mengoptimalkan pedagang local akan memberi rasa aman bagi petani juga pihak yang memberi kredit kepada petani. Sebelumnya kredit kepada petani disalurkan melalui kelompok atau koperasi. Pada umumnya kredit pertanian mengalami kemacetan, dan tidak ada pihak yang bertanggungjawab.
Penyaluran kredit melalui pedagang lokal akan lebih aman, karena pedagang lokal bisnisnya lebih lancar dan mempunyai jaminan jika diperlukan. Pedagang local juga mempunyai hubungan emosional dengan petani, sehingga petani akan memperhatikan pinjaman kepada pedagang. Pengalaman selama ini kredit yang diberikan langsung kepada petani baik melalui kelompok maupun perorangan selalu mengalami kemacetan, ini disebabkan hubungan petani dengan pemberi kredit kurang kuat.
Pendekatan ini mempunyai resiko, karena adanya ketergantungan petani pada pedagang local. Perlu adanya monitoring terhadap pedagang local, supaya tetap berpihak kepada petani.
Selama menjalan program market access YSDK melakukan dua model pembiayaan, yaitu :
Di wilayah Sanggau, penyaluran dilakukan oleh KSU-SDK langsung ke petani. Mekanisme penilaian di lapangan dilakukan langsung oleh staf program. Besar pinjaman berkisar Rp 300 – 500 ribu yang lebih banyak berupa sarana produksi (bibit, pupuk, obat-obatan). Jumlah petani penerima 25 orang. Monitoring juga dilakukan terhadap usaha yang dilakukan. Pengembalian kredit berdasarkan kesadaran petani. Setelah enam bulan diadakan evaluasi, ternyata pinjaman sulit kembali, sehingga model ini dianggap tidak mungkin dilanjutkan. Mental petani sudah terkontaminasi dengan bantuan-bantuan pemerintah maupun program lainnya. Artinya mereka menganggap pinjaman dari pemerintah maupun lembaga lainnya tidak akan ada sangsi jika tidak mengembalikan pinjaman.

Di wilayah Rasau pola pendekatan sejak awal di desain sedemikian rupa dan bercermin pada kondisi yang terjadi di wilayah Sanggau, karena latar belakang masyarakat sebelumnya yang lebih banyak mendapatkan bantuan emergency dari berbagai pemerintah dan lembaga donor. Persyaratan utama dari penerima pinjaman adalah pedagang sekaligus petani local yang sudah melakukan pemasaran komoditi pertanian. Hubungan YSDK dengan pedagang tersebut adalah YSDK lebih melakukan penguatan manajemen dalam arti luas. Berdasarkan hasil analasis tentang kondisi pedagang-pedagang local tersebut di identifikasi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan. Supaya pedagang local mempunyai rasa tanggungjawab, maka setiap kegiatan yang dilakukan selalu ada kontribusi dari pedagang local tersebut. Supaya mempunyai kekuatan hukum, maka kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pedagang local menjadi Tempat pelayanan Koperasi Swadya Dian Khatulistiwa (KSU-SDK). Pengelolaan usaha pedagang local sepenuhnya menjadi tanggung jawab pedagang local tersebut (hanya memakai nama KSU-SDK). Program kemudian membangun komitmen pedagang lokal tersebut supaya tetap berpihak kepada petani (tidak mencari keuntungan untuk diri sendiri semata). Dari hasil survey yang dilakukan, ada beberapa hal yang kemudian dibahas dengan pedagang lokal yaitu salah satunya untuk dapat share margin kepada petani.
Untuk mendukung kegiatan itu tentunya diperlukan sarana pendukung, maka pedagang local di support dengan fasilitas gudang, dryer mesin pemipilan dan penjahit karung. Tujuannya untuk pengendalian mutu sekaligus pengendalian supply komoditi jagung di pasar. Sistim stock akan memberi kesempatan kepada pedagang local untuk mengendalikan penjualan komoditi, sehingga kerugian karena fluktuasi harga dapat lebih diperkecil.
Disisi lain dengan adanya stock berarti kebutuhan modal menjadi lebih besar, sehingga perlu adanya support modal kerja bagi pedagang lokal, karena pedagang local akan segera menyediakan lagi pinjaman untuk petani baik untuk input pertanian maupun dana lainnya. Jumlah pinjaman yag diberikan kepada pedagang local di wilayah Rasau berjumlah 45 juta, yang diberi bertahap dan sesuai dengan kebutuhan. Pencairan dilakukan beberapa kali. Misalnya pada masa pengadaan kredit untuk petani, ada juga pinjaman dari petani belum selesai dibayar karena belum selesai panen, pedagang local harus menyediakan dana lagi untuk pembelian jagung dari petani. Sistim percairan pinjaman model ini dimaksudkan agar pedagang local tidak terbebani biaya bunga ke KSU-SDK. Pinjaman kepada pedagang local dikenakan bunga 2%/bulan. Sistim pengembalian pokok pinjaman sekaligus setelah jatuh tempo (10 bulan) sedangkan setiap bulan hanya membayar bunga.
Belum semua petani dapat dilayani, khususnya dalam bentuk pinjaman. Selama ini pedagang local diwilayah Rasau (2 orang) hanya mampu melayani petani 217 orang (melalui modal pedagang sendiri dan pinjaman program).
Mekanisme penilaian petani yang menerima pinjaman diserahkan sepenuhnya kepada pedagang local. Petani hanya tahu berhubungan dengan pedagang lokal, sehingga rasa tanggungjawabnya lebih besar. Program mendampingi petani dalam hal budidaya. Pendampingan pemasaran lebih banyak kepada pedagang local.

Monitoring dilakukan terhadap pedagang lokal terutama berkaitan dengan berbagai komitmen yang sudah disepakati untuk tetap berpihak kepada petani, terdapat beberapa komponen yang menjadi indikator keberpihakan kepada petani seperti dalam share margin kepada petani dan harga minimal. Monitoring menggunakan instrument yang sudah dipersiapkan, misalnya nota pembelian (harga dan volume ) komoditi dari petani, harga jual kepada pedagang besar yang selalu di kumpulkan setiap tgl 25 pada bulan berjalan, serta form penyaluran kredit, atau input produksi.
Kelemahan dari model ini adalah kompetisi di tingkat lokal menjadi kurang, ada ketergantungan pada seseorang, sehingga jika monitoring lemah dapat menyebabkan pedagang lokal lebih menguasai. Untuk mengatasinya maka perlu dibangun kerjasama dengan beberapa pedagang lokal di satu lokasi. Pedagang lokal adalah mitra bisnis petani yang paling dekat, sehingga model kerjasamanya yang perlu diperbaiki. Keuntungan dari model pendekatan ini adalah jaminan pengembalian pinjaman dari pedagang lokal yang lebih baik, dimana pedagang lokal merasa YSDK merupakan mitra usaha yang menguntungkan. Disamping itu pendekatan ini juga membuat usaha yang dijalankan oleh pedagang local lebih cepat berkembang karena keputusan yang diambil mutlak merupakan keputusan bisnis.


Disadur dari laporan studi kasus dalam program RAeD

Kacang Tanah Berubah Menjadi “SAPI”

Sebuah cerita lapangan dari Fatusene

Desa Fatusane masuk dalam wilayah kerja Kecamatan Miomafu Timur Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), merupakan salah satu desa dari keseluruhan 15 desa yang tergabung dalam Asosisasi BITUNA. Jarak Desa Fatusene dari pusat kota Kefamenanu tidak terlalu jauh, namun jalan menuju desa Fatusane dan desa-desa lain yang tergabung dalam Asosiasi BITUNA masih jalan berbatu dan belum beraspal dimana pada saat musim hujan sulit dilewati kendaraan.

Dalam suatu kunjungan yang dilakukan oleh DPRD TTU ke Desa Fatusene, Bapak Ruben sebagai salah satu kader pemasaran pernah menyampaikan soal jalan raya yang kondisinya sangat rusak. Semua masyarakat desa mengharapkan jalan raya yang lebih baik sehingga mendukung kegiatan di desa walau harapan ini sudah lama disampaikan namun belum terealisasi. Janji dan sejuta harapan lain selalu disampaikan pada saat kampanye tetapi tidak pernah ditepati. Seperti kehidupan desa-desa lainnya di TTU yang terus berbenah mengejar ketertinggalan dan mewujudkan impian untuk sejahtera seperti diamanatkan dalam Pembukaan UUD 45, maka semangat warga desa untuk terus meningkatkan pendapatan dan membangun sarana dan prasarana di desa terus dilakukan. Salah satu kegiatan yang tak lepas dari kehidupan masyarakat adalah bercocok tanam. Setiap desa memiliki komoditi unggulan dan untuk desa Fatusene komoditi unggulan untuk dijual adalah kemiri, asam dan kacang tanah.

Namun seperti halnya nasib petani pada umumnya, petani di Desa Fatusane juga mengalami nasib yang sama keika menjual hasil pertanian. Seperti ungkapan Mama Fenti seorang kader pemasaran desa Fatusene, mengatakan sebelum ada Asosiasi yang melakukan pemasaran bersama, kami sangat tergantung pada pengusaha/pedagang. Bahkan kadang komoditi seperti asam yang sudah dipetik tidak lagi berharga dan dibiarkan terbuang percuma. Lebih lanjut dikatakan oleh Bapak Beatus seorang kader pemasaran, seorang temannya pernah membuang asam sebanyak kira-kira 300 kg karena hanya dihargai Rp. 200/kg harga komoditi asam yang diterima tidak seimbang dengan pengorbanan yang diberikan. Mama Be’a Adalah seorang anggota kelompok tani dengan sangat antusias menceriterakan pengalamannya terkait dengan pemasaran bersama.Berikut kutipan dari perkataan yang meluncur ketika kami singgah untuk belajar tentang pemnasaran bersama. Kata Mama Bea “ Selama saya hidup dari menjual hasil kacang tanah, baru kali ini saya bisa membeli sapi” Terpancar dari raut wajahnya rasa senang dan puas karena hasil kerjanya dihargai secara layak. Berulang kali Mama Be’a menyatakan rasa senangnya atas kehadiran Asosiasi BITUNA yang secara nyata mewujudkan impian petani untuk memperoleh harga yang layak dari hasil kerja kerasnya di kebun. Diceriterakan, pada tahun 2006 melalui pemasaran harag kacang tanah yang dijual diluar Asosiasi dengan harga Rp. 6.000-7.000, namun malalui asosiasi dihargai Rp.8.000 saya sebagai seorang petani sangat senang karena pendapatan rumah tangga kami petani bisa meningkat. atas kenaikan harga tersebut, Lebih lanjut menceritakan bagaimana bisa membeli sapi dari hasil menjual kacang tanah: pada penjualan tahap pertama sebanyak 171 kg dengan harga jual per kg Rp. 7.750, langsung dibelikan bakalan sapi 1 ekor untuk dipelihara, sedang untuk penjualan kacang atanah tahap kedua sebanyak 100 kg dengan harga Rp. 8.000 digunakan untuk keperluan rumah tangga. Kenaikan harga kacang tanah akibat pemasaran bersama mampu meningkatkan motivasi Mama Be’a untuk memperluas luas areal yang digunakan untuk menanam kacang tanah dan dituturkan dengan penuh semangat. Ketika ditanyakan, sumbangan apa saja yang akan dilakukan oleh warga desa Fatusane supaya Asosiasi terus berkembang dan tidak bubar, Pak Ruben menjawab dengan sangat cerdas antara lain dikatakan, semua warga desa yang telah bergabung dengan Asosiasi melalui Lopotani diharapkan tidak lagi menjual pada pihak luar selain melalui asosiasi, terus menjaga kualitas dan jumlah sshingga tidak mengurangi kepercayaan yang telah dibangun bersama dengan pembeli (pengusaha), menjaga timbangan sehingga tidak dimanipulasi dan menambah penyertaan modal Lopotani Fatusene kepada Asosiasi BITUNA.

Demikian gambaran sekilas tentang ungkapan perasaan senang yang dialami oleh petani melalui kegiatan pemasaran bersama yang difasilitasi oleh Asosiasi.
Disadur dari laporan YMTM dalam proyek RAeD

Senin, 22 September 2008

PRA (Participatory Rural Appraisal)




Oleh M. Baiquni

Pendekatan, metode dan teknik PRA (Participatory Rural Appraisal) berkembang pada periode 199O an sebagai sebuah metode yang dikembangkan dari metode RRA (Rapid Rural Appraisal) yang banyak digunakan pada dekade 1980an. Metode Partisipatif PRA cepat sekali berkembang di kalangan para praktisi pengembangan masyarakat, aktivis LSM, peneliti dan pengajar universitas serta lembaga dana intemasional.
Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program pengembangan masyarakat dimana-mana, seolah-olah menjadi “lebel baru” yang harus melekat pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek. Dalam perkembangannya seringkali diucapkan dan ditulis berulang-ulang tetapi kurang dipraktekkan, sehingga cenderung kehilangan makna.
Partisipasi sepadan dengan arti peranserta, ikutserta, keterlibatan, atau proses belajar bersama sating memahami, menganalisis, merencanakan dan melakukan tindakan oleh sejumtah anggota masyarakat. Robert Chambers (1996) mengartikan PRA sebagai “suatu pendekatan dan metode untuk mempelajari kondisi dan kehidupan perdesaan dan, dengan dan oleh masyarakat desa”.
Pengembangan masyarakat dan pembangunan desa sesungguhnya dapat dimulai dengan sederhana, yaitu suatu proses yang berangkat dari kemampuan, kemauan dan kebutuhan masyarakat dalam memenuhi penghidupan dan menyelenggarakan kehidupannya. Selama ini pembangunan cenderung merupakan keinginan elit nasional (birokrat dan wakil rakyat) yang sesungguhnya mempunyai niatan baik, tetapi pendekatan dan model serta penerapannya kurang tepat. Pendekatan otoriter dan top-down serta “terlalu” akademis dalam proses pembangunan, mendominasi banyak kebijakan dan program pembangunan.
Pendekatan dan metode partisipatif muncul sebagal alternatif terhadap pendekatan yang dominan tersebut. PRA merupakan salahsatu alternatif pendekatan partisipatif yang merupakan respon terhadap dominasi pendekatan pembangunan model top-down.
Di dalam PRA sendiri, kita akan mengenal beberapa prinsip untuk pengembangan masyarakat. Diantaranya adalah belajar dari pengalaman masyarakat, berbuat bersama, menyeimbangkan atau mengurangi bias, membuka kesadaran baru, penemuan dan membangun rasa percaya diri, solidaritas membangun kemitraan serta memperkaya pengetahuan dan budaya local. Beberapa hal tersebut memang penting jika berbicara pengembangan masyarakat.
Dalam pelaksanannya PRA perlu untuk dimulai dengan kegiatan sederhana dan kongkrit berjangka pendek yang dapat dirasakan atau memecahkan masalah. Pengalaman dari kegiatan tersebut dapat dikembangkan dan disempurnakan dalam berbagai kegiatan lain yang lebih komplek, menuju mobilisasi kegiatan secara terpadu dan sistematis berjangkà panjang. Metode PRA berawal dari gagasan atau rencana yang dikembangkan menjadi aksi dan disempumakan melalui refleksi.
PRA memang perlu dimulai dari kemampuan masyarakat, dimana Ia berada dan apa yang telah dimiki serta kebutuhan apa yang ingin dipenuhi. Masyarakat sesungguhnya memiliki potensi dan kemampuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, meski kadang memang memerlukan sentuhan dan orang lain. Asumsi ini menunjukkan bahwa pendekatan partisipatif berangkat dari “apa yang ada, bukan yang diada-adakan”. Selama ini banyak program pembangunan yang dirancang oleh para pakar, sambil berkelakar, di belakang meja gambar (rencana teknis) dan dibahas di meja bundar (penentuan kebijakan) tanpa banyak melibatkan masyarakat sekitar.
Lain halnya dengan metode PRA yang berorientasi proses, melibatkan sebanyak mungkin anggota masyarakat, melalui berbagai upaya belajar, melibatkan berbagai kalangan masyarakat (tua, muda, pria, wanita, miskin, kaya). Meskipun langkah-langkah dan teknik-teknik yang digunakan mungkin terlihat rumit, namun bila telah dipraktekkan akan terasa biasa. Sebab PRA merupakan sebuah siklus pembelajaran, pencerahan dan perubahan.
Sebaiknya persiapan kegiatan PRA dilakukan dengan memperhatikan sejumlah faktor internal (seperti kemampuan tim, kelembagaan pendukung, tenaga yang tersedia) dan ekstemal (seperti kondisi politik, musim, keadaan sosial dan ekonomi). Guna membahasn faktor-faktor tersebut, diperlukan
pembicaraan-pembicaraan dan perencanaan kegiatan serta berbagai kemungkinan yang akan datang.
Selanjutnya penetapan lokasi PRA sebaiknya merupakan usulan dari pihak yang berkepentingan, misalnya masyarakat setempat, LSM, pemerintah tokal. Penetapan lokasi ini juga dapat dilakukan oleh tim PRA setelah melihat permasalahan di suatu desa dan diperkirakan masyarakat memerlukan pemecahan dari pihak luar. Jadi inisiatif dapat berangkat dari kedua belah pihak, yang penting terjadi kesepakatan dari masyarakat dan pihak luas atau pendamping akan pentingnya penggunaan PRA ini.
Komposisi tim PRA sebaiknya rnerupakan kombinasi dari berbagai stakeholder atau pelaku pembangunan seperti tokoh masyarakat, petani muda, LSM, pendidik, maupun aparat pemerintah desa. Mereka dapat diusulkan oleh masyarakat atau dapat pula dipilih oleh tim atas dasar keahlian dan pengalamannya. Latar belakang keahlian sebaiknya bervariasi dengan keragaman usia dan status social. Demikian pula komposisi gender juga penting adanya peran pria dan wanita secara proporsional.
Jumlah anggota tim PRA suatu desa sebaiknya tidak terlalu besar atau terlalu kecil, berkisar antara 8 sampai 14 orang. Tim PRA ini yang akan melakukan dialog dan praktek bersama masyarakat desa lainnya. Selain itu bisa secara bergantian memfasilitasi proses kegiatan PRA, tergantung tema dan teknik yang digunakan. Misalnya bicara masalah teknis keuangan, diserahkan pada ahlinya untuk menjelaskan pada masyarakat bagaimana mengelola keuangan usaha yang bailk.
Penjajagan sebaiknya dilakukan antara para peneliti atau aktivis dari luar kepada masyarakat setempat. Kedatangan tim dari luar ini hendaknya tidak langsung membawa proyek ini dan itu (blue print planning), tetapi merupakan penjajagan atau silaturrahmi saling berkenalan. Romo Mangun mengistilahkan datang sebagai sahabat, bukan berlagak sebagal pejabat.
Buku “Berbuat Bersama, Berperan Setara” yang dibuat oleh konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara, diterbitkan oleh Driya Media (1994) menyebutkan ada sejumlah langkah dan kegiatan dalam suatu siklus PRA. Beberapa hal tersebut adalah, pengenalan awal masalah atau kebutuhan dengan melihat potensi serta menumbuhkan penyadaran. Pada tahap awal mi yang biasa digali adalah informasi-informasi yang mengungkapkan keberadaan masyarakat dan Iingkungannya secara umum. Mengidentifikasi gejala dan kecenderungan yang terjadi selama beberapa waktu terakhir atau menemukenali masalah yang ada.
Selanjutnya perumusan masalah dan penetapan prioritas. Anggota tim PRA bersama masyarakat bekerjasama merumuskan masalah dan menentukan prioritas masalah yang urgen dan mendesak untuk ditangani Iebih dahulu. Pertemuan dapat ditakukan dalam berbagai kelompok di tingkat perdusunan (berdasarkan witayah atau kelompok permukiman) atau kelompok fungsional (seperti kelompok tani, koperasi, kelompok pemuda) Bila permasalahan harus ditangani secara terpadu pada forum yang lebih luas, maka dapat dilakukan musyawarah pada tingkat desa atau antar desa.
Setelah itu identifikasi alternatif pemecahan dan pengembangan gagasan mulai dilakukan. Prioritas masalah mulai dicarikan jalan keluar dengan memahami kemampuan masyarakat, potensi daya dukung desa, serta kondisi/peluang yang ada. Berbagai pertemuan dan penggunaan teknik-teknik anatisis sederhana yang dapat dikerjakan sendiri oleh masyarakat dapat digunakan.
Berikutnya pemilihan alternatif pemecahan masalah yang paling tepat harus dilakukan. Pemilihan alternatif ini didasarkan hasil kajian kemampuan masyarakat untuk melakukan gotong royong dan menggalang swadaya serta kemampuan bermitra dengan berbagai pihak di luar desa untuk sinergi kekuatan.
Pada tahap ini perencanaan guna menerapkan gagasan pemecahan masalah yang terpilih mulai dilakukan. Rencana ini merupakan upaya untuk mengorganisasikan seluruh sumberdaya yang telah diidentifikasi dalam suatu urutan kegiatan yang konkrit.
Tahapan penting berikutnya adalah pelaksanaan atau pengorganisasian, pemantauan dan pengarahan kegiatan yang akan dipantau secara kontinyu. Dan berikutnya refleksi berupa evaluasi dan rencana tindak lanjut akan mengakhiri siklus PRA. Disini akan dievaluasi sejauh mana proses ini sudah sesuai dengan harapan yang ingin dicapai. Melalui refleksi ini masyarakat dan tim PRA dapat belajar banyak dari pengalaman pertama, “selanjutnya terserah anda. ..“.
Yang menarik PRA dalam pelaksanaannya menggunakan sejumlah teknik yang pada dasarnya sederhana, fleksibel, mudah difahami oleh masyarakat sendiri. Teknik-teknik PRA tidak bersifat baku dan standard yang harus diikuti secara ketat, tetapi justru terbuka untuk melakukan modifikasi dan penyesuaian sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat penggunanya. Betul apa kata Chambers bahwa mengingat kondisi masyarakat dan Iingkungan perdesaan itu sangat beragam, maka beragam pula teknik-teknik yang dapat dikembangkan, “Let a thousand flowers blooms (why only a thousand?, we can do more)”.
Kondisi ini sangat berbeda bila kita menyaksikan ribuan dokumen hasil penelitian menumpuk di gudang-gudang universitas, lembaga penelitian, departemen bahkan kantor yang mengurusi hasil penelitian. Hasil penelitian yang membutuhkan banyak biaya, melibatkan banyak tenaga dan menyita waktu ini ternyata banyak tidak ditindak lanjuti. Sementara itu berbagai lembaga dan aktivis yang bergerak di lapangan lebih tertarik tindakan nyata memecahkan masalah atau membuat solusi, jarang melakukan kajian teoritis yang mendalam.
Sementara itu kenyataan yang ada dengan menjamurnya berbagai pelatihan dan program kegiatan menggunakan label PRA dapat mengkhawatirkan sekaligus peluang. Mengkhawatirkan bila PRA digunakan untuk berbagai kegiatan yang sesungguhnya tidak partisipatif, dengan kata lain label PRA tidak sesuai dengan isinya. Kegiatan dengan proses dan hasil yang buruk tersebut akan menyudutkan reputasi metode PRA.
Ditengah badai krisis ini, banyak program Jaring Pengaman Sosial (JPS) baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat bisnis maupun LSM diselenggarakan dengan menggunakan label partisipatif. Pelaksanaannya cenderung banyak bersifat masal ingin menjangkau jumlah yang banyak secara cepat, petunjuk pelaksanaan kaku, koordinasi antar pelaku dan instansi yang masih belum jelas serta masih di dominasi oleh mekanisme instruksi. Banyaknya kegiatan yang menggunakan PRA merupakan peluang tersendiri. Tetapi bila dilaksanakan secara tergesa-gesa dan sangat prosedural, seringkali substansinya tidak nampak terwujud.
Kekhawatiran munculnya berbagai permintaan pelatihan PRA di mana-mana, membuat kewalahan para fasilitator PRA. Banyak pula yang mengaku fasilitator PRA, tetapi tidak pernah punya pengalaman lapangan yang tangguh. Para fasilitator semacam mi biasanya hanya membaca dari beberapa buku dan membuat makalah atau petunjuk latihan berdasarkan texbook thinking, tanpa pernah melakukan sendiri di lapangan dan melakukan refleksi untuk pengayaan pengalaman.
Sementara itu seringkali pula materi pelatihan PRA hanya merupakan sub bagian kecil dan sebuah pelatihan besar. Para peserta tidak punya waktu untuk menyerap substansi materi dan melakukan simulasi serta latihan di lapangan, akibatnya hanya mengenal permukaan saja.
Padahal sesungguhnya banyak hal yang bisa diraih melalui kegiatan ini. Diantaranya yang penting adalah adanya perubahan political will and policy reform menuju proses yang lebih demokrasi, desentralisasi, aspiratif dan adanya proses pengembalian kedaulatan rakyat. PRA merupakan pendekatan dan metode yang bersebrangan dengan sentralisasi, standarisasi atau penyeragaman dan model top-down.
Melalui PRA ini bias digunakan untuk memperkuat dan memberdayakan kemampuan masyarakat pedesaan.dan kelompok miskin. Utamanya untuk mengembangkan persepsi dan aspirasinya menggunakan aspirasi sendiri. Peningkatan kemampuan itu penting untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi dengan sumber daya yang ada menuju perbaikan hidup secara wajar. Let a thousand flowers blooms, merupakan gambaran bahwa PRA fleksibel dengan berbagai inovasi dan modifikasi sesuai dengan kondisi, kemampuan dan pengalaman masing-masing.

Konsep dan implementasi dalam mendorong terpenuhinya hak rakyat atas pangan

oleh Arif Haryana (*)
(*) Dr. Ir. Arif Haryana, M.Sc adalah Kepala Sub Direktorat Pangan pada Direktorat Pangan dan Pertanian, Kementerian Negara PPN/Bappenas-red.

Kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Pemahaman mengenai "kemiskinan" mestilah beranjak dari pendekatan berbasis hak (right based approach). Dalam pemahaman ini harus diakui bahwa seluruh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama. Kemiskinan juga harus dipandang sebagai masalah multidimensional, tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan dalam memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Pendekatan right based approach mengandung arti bahwa negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap.
Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya.
Situasi Kemiskinan di Indonesia dan Permasalahannya
Kemiskinan, yang antara lain ditandai oleh banyaknya penduduk yang hidup di– atau sangat rentan jatuh ke– bawah garis kemiskinan, masih merupakan permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Perkiraan BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2003 terdapat sekitar 34,7 juta jiwa atau sekitar 17,4% dari jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (tingkat pengeluaran yang diperlukan untuk dapat mengkonsumsi makanan setara 2100 Kkal sehari dan pengeluaran minimal untuk kebutuhan dasar lainnya). Bila acuan kemiskinan yang digunakan adalah tingkat pengeluaran kurang dari US$ 2 PPP per orang per hari, maka jumlahnya menjadi jauh lebih besar. Berdasarkan standar acuan tersebut, Bank Dunia memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah sekitar 53,4% atau 114,8 juta jiwa.
Masalah kemiskinan juga ditandai oleh rendahnya Human Development Index (HDI), yang menggambarkan mutu kehidupan masyarakat. Dibandingkan dengan beberapa negara
tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina, nilai HDI Indonesia pada tahun 2002 masih lebih rendah. Posisi HDI Indonesia saat ini hampir setara dengan Vietnam yang sepuluh tahun yang lalu jauh tertinggal di bawah Indonesia. Meskipun kita sedikit lebih baik daripada Vietnam pada indikator pendapatan, akses terhadap air bersih dan kecukupan gizi balita, namun kita masih berada di bawah Vietnam pada indicator pendidikan dan kesehatan.
Hal lain penanda kemiskinan adalah adanya ketimpangan antarwilayah. Secara jumlah, kemiskinan terbesar berada di Jawa dan Bali karena jumlah penduduknya yang mencapai 60% penduduk Indonesia. Namun, persentase kemiskinan di luar Jawa, khususnya kawasan timur Indonesia jauh lebih tinggi. Pada tahun 2003, kemiskinan di DKI Jakarta hanya sekitar 3,4%, sedangkan di Papua mencapai sekitar 39%. Kemiskinan di Indonesia juga sebagian besar dihadapi oleh penduduk di daerah perdesaan, yang pada umumnya bekerja di sector pertanian. Pada tahun 2003 jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai 67%.
Situasi kemiskinan yang tertangkap dalam angka-angka di atas hanyalah ukuran kemiskinan yang didasarkan atas permasalahan pendapatan atau ekonomi belaka. Lebih lanjut daripada itu, permasalahan kemiskinan perlu dilihat dari aspek kegagalan dalam pemenuhan hak dasar, serta ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Beberapa permasalahan yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pemenuhan hak-hak dasar antara lain: (1) Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) Terbatasnya akses layanan perumahan; (6) Terbatasnya akses terhadap air bersih dan sanitasi; (7) Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (8) Memburuknya kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup; (9) Lemahnya jaminan rasa aman; (10) Lemahnya partisipasi.

Pengakuan Hak atas Pangan
Berdasarkan General Comment 12 dari the Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) hak atas pangan (the right to food) telah diakui secara internasional sebagai salah satu hak dasar umat manusia. Adalah merupakan kewajiban negara untuk dapat menyediakan pangan yang memadai, baik jumlah maupun kualitasnya, bagi seluruh penduduknya sehingga bisa memenuhi standar hidup yang layak.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan FAO atas semua konstitusi negara-negara di dunia, diketahui bahwa semua negara mengakui adanya hak atas pangan (the right to food) sebagai bagian dari hak dasar umat manusia. Meski demikian jenis pengakuan dalam konstitusi masing-masing negara beragam yang meliputi :
1. pernyataan eksplisit tentang hak atas pangan bagi semua orang
2. pernyataam eksplisit tentang hak atas pangan bagi kelompok khusus (anak-anak, orang lanjut usia, para pensiunan, dan tahanan penjara)
3. pernyataan implisit tentang hak atas pangan melalui pernyataan eksplisit atas hak yang lebih luas lagi seperti hak atas standar hidup yang memadai
4. pengakuan atas hak jaminan sosial bagi mereka yang tidak bekerja, yang merupakan pengakuan implisit hak atas pangan
5. pengakuan hak-hak anak-anak, yang juga meliputi hak-hak atas nutrisinya.
2
6. pengakuan atas hak upah minimum bagi buruh yang cukup untuk memperoleh kebutuhan dasar bagi buruh dan keluarganya, termasuk hak pangannya.
7. pengakuan pentingnya pertanian, jaminan pangan atau jaminan konsumen melalui pernyataan eksplisit atas hak-hak (warga negara) atau sebagai kewajiban Negara


Bagi Indonesia, pengakuan hak atas pangan juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, yang menyatakan "bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang kerkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional".
Kerawanan Pangan dan Kemiskinan
Terbatasnya kecukupan dan kelayakan mutu pangan berkaitan erat dengan masalah ketersediaan pangan (the availability of food), daya beli dan akses kepada pangan, dan ketergantungan yang tinggi pada salah satu jenis pangan, seperti beras misalnya. Di samping itu, perilaku dan budaya yang membedakan perlakuan dalam pengaturan dan pembagian makan antarangota keluarga juga berpengaruh terhadap pemenuhan kecukupan pangan.
Tidak tersedianya pangan dalam jumlah dan mutu yang memadai dapat diartikan sebagai telah terjadinya kemiskinan karena ada hak-hak dasar seseorang atau sekelompok orang yang tidak dapat terpenuhi. Oleh karena itu dikaitkan dengan upaya pengentasan kemiskinan maka ketersediaan pangan yang kemudian dikenal sebagai ketahanan pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya strategis dalam penanggulangan masalah kemiskinan. The World Food Summit (WFS) menyatakan ketahanan pangan dapat terwujud saat semua orang setiap saat memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhannya dan juga pemenuhan pangan bagi kehidupan yang sehat. Empat pilar utama dari ketahanan pangan ini adalah ketersediaan pangan, stabilitas suplai pangan, akses, dan pemanfaatan pangan
Pemerintah berkewajiban dalam memenuhi pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri, dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia. Untuk itulah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang kemudian disusul dengan keluarnya Inpres No. 2 Tahun 2005 tentang Kebijakan Perberasan.
Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi persyaratan gizi masih menjadi masalah bagi masyarakat miskin. Permasalahan kecukupan antara lain terlihat dari rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Pada tahun 2002, diperkirakan 20% penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 Kkal per hari atau 75% dari kebutuhan untuk hidup layak. Pada saat yang sama ketersediaan pangan nasional cukup memadai. Bila kerawanan pangan diukur dengan kriteria kebutuhan konsumsi minimum sebesar 2.100 Kkal per hari, maka hal tersebut dialami oleh 60% penduduk berpenghasilan rendah. Kondisi ini menunjukkan adanya masalah dalam akses/keterjangkauan bahan pangan.

Secara umum kerawanan pangan diartikan sebagai kondisi suatu daerah, masyarakat, atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan. Kondisi kerawanan pangan dapat bersifat : (1) kronis, ditampakkan adanya gejala kurang makan secara terus menerus, karena ketidakmampuan memperoleh pangan yang cukup, baik dengan cara membeli maupun dengan cara menghasilkan sendiri, akibat keterbatasan penguasaan sumber daya alam dan kemampuan sumber daya manusia sehingga pemanfaatan kemampuan dan kekuatan fisik kurang maksimal; menjadikannya rentan terhadap gangguan penyakit, dan pada gilirannya menyebabkan kondisi masyarakat semakin miskin; serta (2) kerawanan transien, yang merupakan penurunan kemampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, akibat kondisi tidak terduga seperti ketidakstabilan harga, ketidakstabilan produksi, dan ketidakstabilan pasokan pangan sebagai akibat bencana alam, kerusuhan, penyimpangan musim, konflik sosial dan lain-lain.
Dampak buruk kerawanan pangan terlihat pada penurunan status gizi masyarakat dan status kesehatan masyarakat yang akhirnya menimbulkan bencana kelaparan. Dampak buruk terganggunya ketersediaan pangan dan berkurangnya daya beli masyarakat menimbulkan kemiskinan struktural sehingga dengan usaha apapun pendapatannya tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya.
Di samping karena masalah ketersediaan dan akses terhadap pangan, masalah kecukupan pangan dipengaruhi pula oleh pola konsumsi yang bertumpu ada beras sebagai bahan pangan pokok. Pola konsumsi seperti itu menyebabkan ketergantungan masyarakat pada beras dan, pada masyarakat tertentu menyebabkan adanya peralihan konsumsi pangan dari bukan beras menjadi beras. Dalam jangka panjang, hal ini akan mengganggu ketahanan pangan masyarakat. Selain itu, ketergantungan pada beras juga melemahkan inisiatif untuk melakukan diversifikasi produksi dan konsumsi pangan selain beras seperti jagung, sagu, ubi jalar, dan bahan pangan lainnya yang dapat diproduksi secara lokal.
Perbedaan perlakuan dalam pengaturan dan pembagian makan antar anggota keluarga juga berpengaruh terhadap pemenuhan kecukupan pangan. Pembagian makanan masih dipengaruhi oleh perilaku dan budaya masyarakat di beberapa daerah yang mengutamakan bapak dan anak laki-laki lalu anak perempuan, dan terakhir ibu. Pola pembagian makan seperti itu juga berdampak pada buruknya kondisi gizi ibu hamil,dan dapat mengakibatkan kematian ibu pada waktu melahirkan dan setelah melahirkan.
Masalah kecukupan pangan juga dialami oleh petani penghasil pangan termasuk petani padi. Penyebab utamanya adalah fluktuasi harga yang terjadi pada saat musim panen dan musim paceklik yang tidak menguntungkan mereka. Impor beras yang dilakukan untuk menutup kebutuhan beras dan menjaga stabilitas harga seringkali tidak tepat waktu sehingga merugikan petani penghasil beras. Berdasarkan observasi Badan Bimas Ketahanan Pangan pada bulan Agustus 2003 di 486 lokasi yang tersebar di 15 provinsi, harga gabah terendah ditingkat petani mencapai Rp. 900/kg lebih rendah dari harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu terdapat 54,9% kasus harga di tingkat petani dan 38,9% kasus harga di tingkat penggilingan yang lebih rendah dari harga dasar pembelian yang ditetapkan. Selain itu, penyelundupan beras juga menyebabkan kerugian bagi penghasil. Dengan kepemilikan lahan yang sempit (kurang dari 1 ha), dukungan prasarana dan sarana yang terbatas, dan harga jual yang tidak pasti, mereka tidak memperoleh surplus yang memadai untuk mencukupi

kebutuhan menjelang musim panen berikutnya. Mereka cenderung hidup secara subsisten yang menghambat mereka untuk keluar dari perangkap kemiskinan.
Masalah lain yang juga mempengaruhi ketahanan masyarakat dalam menghadapi masalah kerawanan pangan adalah kemampuan menyediakan cadangan pangan untuk mengatasi musim paceklik. Saat ini, sebagian besar lumbung pangan milik masyarakat tidak berfungsi karena tidak dikelola dengan baik dan lemahnya dukungan dari pemerintah.
Pemenuhan Hak Dasar Atas Pangan sebagai bagian dari penanggulangan kemiskinan
Rencana aksi penanggulangan kemiskinan bertujuan untuk menurunkan jumlah penduduk miskin laki-laki dan perempuan dan menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap agar dapat menjalani kehidupan yang bermartabat. Rencana aksi tersebut dilaksanakan secara terpadu, sinergis, dan terencana, yang meliputi meliputi: (1) pengelolaan ekonomi makro untuk menjamin stabilitas, pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan pengurangan kesenjangan; serta (2) rencana aksi pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, termasuk hak atas pangan.
Sebagai salah satu bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan, sasaran dari Rencana aksi pemenuhan hak atas pangan adalah terpenuhinya kecukupan pangan yang bermutu, serta meningkatnya status gizi masyarakat miskin terutama ibu, bayi, dan anak balita. Target yang hendak dicapai adalah menurunnya persentase jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, serta menurunnya angka gizi kurang pada anak balita menjadi 20% pada tahun 2009.
Dalam pendekatan right based approach terkandung adanya kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap. Oleh karena itu kebijakan yang diambil dalam rencana aksi pun diarahkan agar negara dapat melaksanakan kewajiban dalam melindungi dan memenuhi hak-hak dasar rakyat. Dalam hal bidang pangan, kebijakan yang diambil adalah:
1. Meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat dalam mendukung ketahanan pangan local;
2. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang diversifikasi konsumsi pangan dan pangan gender keluarga;
3. Meningkatkan efisiensi produksi pangan petani dan hasil industri pengolahan dengan memperhatikan mutu produksi;
4. Menyempurnakan sistem penyediaan, distribusi dan harga pangan;
5. Meningkatkan pendapatan petani pangan dan sekaligus melindungi produk pangan dalam negeri dari pangan impor;
6. Meningkatkan sistem kewaspadaan dini dalam gizi dan rawan pangan;
7. Menjamin kecukupan pangan masyarakat miskin dan kelompok rentan akibat goncangan ekonomi, sosial dan bencana alam.
Kebijakan pada butir 1 hingga 6 merupakan kebijakan untuk mencegah terjadinya masalah-masalah pangan, sehingga kebijakan-kebijakan tersebut dapat diartikan sebagai penjabaran kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan (melindungi). Sedangkan kebijakan pada butir 7 lebih merupakan langkah Negara melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak dasar rakyat miskin atas pangan.

Pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan Ketahanan Pangan
Fokus pemantapan ketahanan pangan berada pada tingkat rumah tangga. Untuk itu, kegiatan prioritas dalam pembangunan ketahanan pangan diarahkan pada pemberdayaan masyarakat agar mampu menolong dirinya sendiri dalam mewujudkan ketahanan pangan. Dengan demikian ruang lingkup kegiatan dalam konteks pemberdayaan masyarakat untuk mewujudkan ketahanan pangan masyarakat meliputi upaya :
1. meningkatkan kemampuan dalam kegiatan on-farm, off-farm dan non-farm
2. meningkatkan kemampuan dalam mengelola ketersediaan pangan, distribusi pangan, konsumsi pangan, dan kerawanan pangan; serta
3. meningkatkan kemampuan kelembagaan pangan untuk mengembangkan usahanya.
Pemberdayaan masyarakat tersebut diupayakan melalui peningkatan kapasitas SDM agar dapat bersaing memasuki pasar tenaga kerja dan kesempatan berusaha yang dapat menciptakan dan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Kesempatan berusaha tersebut tidak harus selalu pada usahatani padi (karena luas lahan sempit tidak mungkin dapat meningkatkan kesejahteraannya), tetapi juga pada usaha tani non padi (on- farm), off-farm, dan bahkan non-farm
Dengan adanya peningkatan, maka daya beli rumah tangga mengakses bahan pangan akan meningkat. Kemampuan membeli tersebut akan memberikan keleluasaan bagi mereka untuk memilih (freedom to choose) pangan yang beragam sesuai seleranya, termasuk untuk pemenuhan kecukupan gizi yang lebih baik. Dalam kondisi demikian, ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dapat dicapai apabila terbangun kemampuan (daya beli) rumah tangga tersebut untuk memperoleh pangan (dari produksi sendiri maupun dari pasar) yang cukup, bergizi, aman, halal, yang dapat mendukung hidup sehat dan produktif. Dengan demikian ketahanan pangan yang dibangun bukan diarahkan agar rumah tangga tersebut menghasilkan sendiri seluruh kebutuhan pangannya, tetapi diwujudkan melalui kemampuan memperoleh peningkatan pendapatan (daya beli) secara berkelanjutan. Karena itu pula, perdagangan pangan (baik dalam negeri/antar daerah ataupun perdagangan internasional) seyogyanya didorong agar mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.
Penutup
Sebagai penutup, berikut ini disampaikan rangkuman mengenai isu pangan dan kemiskinan sebagai berikut:
1. Pemenuhan kebutuhan pangan sebagai hak dasar manusia telah diakui secara global dan nasional dewasa ini. Konstitusi kita menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Amanat konstitusi ini kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dan PP No. 28 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.
2. Ketahanan pangan tidak semata dilihat sebagai bagian dari pengentasan kemiskinan, namun juga sebagai upaya untuk membangun ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional, sehingga upaya untuk mewujudkannya harus melibatkan pemerintah dan segenap rakyat Indonesia yang didukung perangkat hukum yang memadai yang menjamin ketersediaan dan akses rakyat terhadap pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
3. Masalah kemiskinan dilihat dari perspektif pangan merupakan masalah rawan pangan (food insecurity) akibat rendahnya daya beli, ketersediaan pangan yang tidak merata, ketergantungan tinggi terhadap beras dan terbatasnya diversifikasi pangan.
4. Upaya mengentaskan kemiskinan-termasuk di dalamnya upaya mewujudkan katahanan pangan pada masyarakat miskin-dilakukan dengan pemberdayaan (empowerment) masyarakat petani agar mereka mengenali potensi dirinya sehingga mampu secara mandiri menemukenali dan mengatasi masalah yang dihadapinya.
Demikianlah paparan kami, semoga paparan ini dapat menjadi pemicu diskusi bagi kita semua, sehingga pemahaman kita atas isu tentang kemiskinan dan upaya penanggulangannya, termasuk pula isu Hak atas Pangan menjadi semakin baik. Di samping itu, kita semua berharap kiranya akan semakin banyak pihak yang memahami isu-isu ini sehingga akan memperkokoh upaya kita untuk mendorong terpenuhinya hak atas pangan bagi seluruh lapisan masyarakat􀂃

Tentang pertanian indonesia

Sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja tertinggi, yaitu sebesar 44,5 persen pada tahun 2006 (BPS). Namun demikian, kontribusi sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 13,3 persen. Dengan tidak seimbangnya kontribusi PDB dan jumlah tenaga kerja yang diserap, maka tingkat produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian adalah yang terendah. Bandingkan dengan sektor industri yang menyumbang 28,9 persen terhadap PDB nasional, namun hanya menyerap tenaga kerja sebesar 12,1 persen. Sebagai akibatnya, kesejahteraan rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian akan lebih rendah dibanding yang bekerja di sektor industri.
Berbagai pertanyaan dapat dilontarkan : Pertama, apakah sektor industri yang menyerap tenaga kerja terlalu sedikit sehingga secara residual tenaga kerja menetap di pertanian, sehingga atau sektor pertanian yang menyerap terlalu banyak dari yang dibutuhkan?. Dengan kata lain, tingginya penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian merupakan prestasi atau sekedar sebagai penampung karena masuknya tenaga kerja ke sektor pertanian tidak memiliki kriteria atau standar minimum sebagaimana di industri.
Kedua, Siapa sebetulnya pelaku yang menyumbang kontribusi sedemikian besarnya pada perekonomian nasional. Mereka adalah 24 juta rumah tangga petani, dari total 52 juta rumah tangga di seluruh Indonesia. Mereka adalah 40 juta pekerja di antara 90 juta pekerja di seluruh Indonesia. Yang kita tahu, mayoritas dari mereka berlahan sempit dengan rata-rata 0,3 ha. Mereka hanyalah penggarap dari lahan-lahan pertanian yang yang sudah dimiliki orang-orang kota. Tanpa mengetahui dengan baik karakteristik dan siapa mereka segala subsidi dan dukungan di sektor pertanian tidak dapat mereka nikmati. Padahal segala subsidi dan dukungan disediakan untuk mengangkat kesejahteraan mereka.
Terlepas permasalahan di atas, rendahnya produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dari sisi tenaga kerja, dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kualitas manajemen usahatani. Rendahnya tingkat inovasi dan penerapan teknologi telah mengakibatkan produktivitas lahan sangat terbatas peningkatannya atau bahkan cenderung turun pada beberapa komoditas. Kurangnya dukungan terhadap pemberdayaan petani dirasakan turut mempengaruhi tingkat produktivitas petani. Padahal, apabila produktivitas tenaga kerja pertanian tersebut dapat ditingkatkan maka kontribusi terhadap PDB Nasional juga dapat meningkat, dan kesejahteraan sekitar 24 juta rumah tangga petani di Indonesia akan meningkat pula.